Masih ingatkah kalian dengan Bowo Alpenlieble? Yang pada tahun 2018 lalu, menghebohkan dunia sosial media Indonesia karena menggelar meet & greet dengan penggemarnya yang didapatkan melalui aplikasi TikTok dan dalam acara tersebut memungut biaya hanya untuk foto bersama dengan bocah laki-laki yang akrab dipanggil Bowo itu. Kelakuan penggemarnya juga yang berlebihan dalam memuja Bowo ini, membuat kepopuleran Bowo pada akhirnya tak bisa dipisahkan dengan stigma aplikasinya kaum alay kepada aplikasi Tiktok.
Selain itu, pada 3 Juli 2018, Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), memblokir delapan nama area atau DNS yang terkait dengan TikTok. Walaupun Rudiantara, Menteri Kominfo saat itu mengatakan pemblokiran TikTok tersebut hanya bersifat sementara sampai TikTok mematuhi ketentuan yang ada di Indonesia. Seminggu kemudian pemblokiran Tiktok resmi dibuka kembali karena telah memenuhi 9 dari 10 syarat yang telah diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk beroperasi kembali.
Tahun 2018 merupakan tahun yang problematik untuk aplikasi TikTok di Indonesia, setelah stigma alay dari masyarakat kemudian pernah sempat diblokir oleh Kominfo, lalu mengapa TikTok bisa sampai sebesar sekarang?
Sejarah Tiktok, Akuisisi Musical.ly, hingga Trolling Donald Trump di Pemilu Amerika Serikat
Secara garis besar, Aplikasi TikTok adalah aplikasi untuk membuat dan menyebarkan beragam video pendek dalam format secara vertikal, yang dimainkan hanya dengan men-scroll layar ke atas maupun ke bawah. Menariknya aplikasi TikTok ini ternyata adalah hasil dari akuisisi ByteDance, sebuah perusahaan media China yang mengakuisisi Musical.ly dengan harga 1 Milliar US dollar pada tahun 2018. Uniknya di China sendiri TikTok bernama Douyin. Kemudian setelah itu TikTok terus tumbuh secara perlahan dan mulai mengglobal. Dengan aplikasi yang kelebihannya menggunakan musik tanpa perlu takut terkena hak cipta pemiliknya, algoritma dari TikTok pula yang membuat aplikasi ini semakin populer, berbeda dengan Youtube atau Instagram, algoritma TikTok bisa menyebarkan konten pengguna siapapun tanpa melihat jumlah pengikutnya dengan mempelajari kebiasaan para pengguna aktif lebih cepat dari aplikasi lain, yang dinamakan “For Your Page”.
Saat pandemi Covid-19 mulai menyebar di awal tahun 2020 dan tagar #Stayhome mulai muncul dimana-mana. Aplikasi TikTok semakin digandrungi oleh banyak orang di dunia untuk menghilangkan rasa jenuh disaat karantina berlangsung. Terbukti pada tahun 2020, per Oktober TikTok mencapai 2 miliar unduhan di seluruh dunia. Hal tersebut adalah jumlah yang luar biasa sekaligus langsung naik menantang sosial media yang telah lebih dahulu menjadi besar seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.
Pada tahun 2020 pula, para pengguna TikTok di Amerika Serikat sempat membuat panas pentas demokrasi pemilihan umum presiden disana, bagaimana tidak. Donald Trump, yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat sekaligus kandidat calon presiden periode selanjutnya, pernah di-trolling oleh para pengguna TikTok dengan cara pemesanan tiket palsu dan menipu untuk datang ke kampanye Trump tanpa benar-benar datang ke acara tersebut. Tim Trump bahkan sebelumnya telah memprediksi kampanye akan membludak karena pendaftar hingga mencapai sejuta orang. Tetapi alhasil, kampanye yang tepatnya diselenggarakan di Tulsa, Oklahoma tersebut terpantau sepi akibat ulah para pengguna TikTok di sana.
TikTok, hawa baru untuk dunia sosial media
Dengan membawakan format vertikal, TikTok hadir sebagai pembaru dalam bagaimana cara kita bersosial media. Pengguna TikTok bisa bebas memilih banyak musik dan menggunakan filter serta dapat melakukan konten lipsync ditambah algoritma “For your page” yang membuat semua orang bisa ikut berpartisipasi dalam membuat konten dan dapat dilihat banyak orang terlepas berapa banyak pengikut yang dimilikinya.
TikTok secara tidak langsung memberikan jawaban tentang “Apa yang harus kita tonton?, dengan cara yang sama TikTok juga membantu kita menjawab “Apa yang harus kita posting?” ketika sedang memainkannya. Hal ini menyebabkan tak akan ada habis-habisnya konten yang ada di TikTok karena hal itu akan saling berhubungan sampai tidak ada ujungnya.
Membandingkan TikTok dengan platform lainnya malah membuatnya semakin unik, TikTok itu seperti “Youtube” yang konsisten dalam konten berbentuk video, TikTok juga seperti Facebook dan Twitter yang menu utamanya langsung menuju “Feeds” orang-orang lain yang di TikTok juga dinamakan sebagai menu “For Your Page” yang mudah untuk dinikmati. TikTok pun seperti Netflix dalam memberikan konten kepada penggunanya melalui algoritma rekomendasi bukan melalui Friends atau Followers. Dan juga TikTok seperti Snapchat dan Instagram yang hanya dapat diproduksi dengan smatphone kita.
Pada akhirnya TikTok merupakan sosial media yang unik sekaligus platform sosial media pertama yang menggabungkan banyak karateristik sosial media lain dalam satu aplikasi, yang membuat TikTok menjadi hawa baru untuk dunia sosial media pada dekade yang baru ini. TikTok perlahan akan mengubah cara kita bersosial media, bahkan jika kita menghindarinya. (Baharian Diko/SI2020)